Powered By Blogger

Rabu, 16 Maret 2011

ANAK BERKELAINAN PERILAKU (TUNALARAS)

ANAK BERKELAINAN PERILAKU (TUNALARAS)

Untuk memenuhi matakuliah Pengantar Pendidikan

Disusun oleh :

Nursarif Hidayat

UNIVERSITAS PAKUAN

BOGOR

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur terucap kepada pencipta alam semesta, pemilik jiwa raga seluruhmahluk di alam semesta, pemilik dan pemberi akal bagi manusia, pencipta manusiasebagai mahluk yang paling sempurna di muka bumi ini ; Allah swt. Tuhan yang Mahakaya lagi Maha bijaksana. Sholawat teriring salam semoga tercurah selalu kepada bagindabesar Nabi Muhammad saw. yang telah menjadi wasilah syari’at Islam dan the newimagination for humanities in the world, teriring pula kepada para keluarga dan parashohabat. Amiin Ya rabbal Alamin.

Manusia merupakan makhluk ciptaan Allah yang dibekali dengan berbagai potensifitrah yang tidak dimiliki makhluk lainnya. Manusia di ciptakan dengan berbagai jenis dan kalakter yang berbeda akan tetapi kita sebagai umatnya hanya patut bersyukur akan pemberian dan kuasanya.

Saya sadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak sekali kekurangannya,karena melihat factor pembelajaran untuk mencapai pemahaman dan penguasaan suatumateri ilmu pengetahuan sangatlah memerlukan waktu yang lama “Long Time ForEducation”. Untuk itu saya dengan tangan terbuka menerima kritik dan saran dari semuapihak, tiada lain untuk pencapaian suatu hasil karya yang lebih maksimal dan tentunyamoga juga lebih bermanfaat untuk saya khususnya dan untuk pembaca umumnya. SemogaAllah senantiasa menunjukan jalan yang lurus, sehingga kita dapat selalu berjalan dalamagama dan syari’at-NYA Amin.

Bab I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dalam sistem pendidikan nasional diadakan pengaturan pendidikan khusus yang diselenggarakan untuk peserta didik yang menyandang kelainan fisik dan atau mental.

Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus” Hak masing-masing warga negara untuk memperoleh pendidikan dapat diartikan sebagai hak untuk memperoleh pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan yang sekurang-kurangnya setara dengan pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan tamatan pendidikan dasar. Tentu saja kelainan yang disandang oleh peserta didik yang bersangkutan menuntut penyelenggaraan pendidikan sekolah yang lain dari pada penyelenggaraan pendidikan sekolah biasa. Oleh sebab itu, jenis pendidikan yang diadakan bagi peserta didik yang berkelianan disebut Pendidikan Luar Biasa.

Saat ini satu unit di bawah Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, yaitu Direktorat Pendidikan Luar Biasa memikul tanggung jawab atas pelayanan pendidikan bagi peserta didik penyandang kelainan untuk tingkat nasional. Untuk tingkat daerah, unit yang bertanggung jawab atas Pendidikan Luar Biasa adalah Subdin PLB/Subdin yang menangani PLB pada Dinas Pendidikan Propinsi.

Bab II

Tuna Laras dan Ciri-cirinya

2.1 Pengertian Tuna Laras

Bukan masalah yang sederhana untuk menentukan batasan mengenai anak yang mengalami gangguan tingkah laku atau lebih dikenal dengan istilah tuna laras. Hingga kini belum ada suatu defenisi yang dapat diterima secara umum serta memuaskan semua pihak. Kenyataan batasan atau definisi yang telah dikemukakan oleh profesional dan para ahli yang berkaitan dengan masalah ini berbeda-beda sesuai dengan sudut pandang disiplin ilmu masing-masing untuk keperluan profesionalnya. Namun demikian, hampir semua batasan yang dikemukakan oleh para ahli menganggap bahwa tuna laras menampakkan suatu perilaku penentangan yang terus-menerus kepada masyarakat, kehancuran suatu pribadi, serta kegagalan dalam belajar di sekolah (Somantri, 2006).

Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari Eli M Bower (1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih dari lima komponen berikut ini: tidak mampu belajar bukan disebabkan karena faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006).Dari banyak pendapat menurut para ahli, maka dapat disimpulkan bahwa anak tuna laras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya. Situasi belajar yang mereka hadapi secara monoton akan mengubah perilaku bermasalahnya menjadi semakin berat (Somantri, 2006).

Istilah yang digunakan untuk anak yang berkelainan perilaku (anak tunalaras) dalam konteks kehidupan sehari-hari di kalangan praktisi sangat bervareasi. Perbedaan pemberian julukan kepada anak yang berkelainan perilaku (tunalaras) tidak lepas dari konteks pihak yang berkempentingan. Misalnya para orang tua cenderung menyebut anak tunalaras dengan anak jelek (bad boy) para guru menyebutnya dengan sebutan anak yang tidak dapat di perbaiki (incorrigible), para pisikiater atau pisikolog lebih senang menyebutnya sebagai anak yang tergangu emosinya (emotional disturb cbild).

Sedangkan menurut ketentuan yang di tetapkan dalam Undang Undang Pokok Pendidikan Nomor 12 Tahun 1952, anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang/berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap pelaturan dan norma-norma social dengan perekwensi yang cukup besar, tidak/kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain.

Pengertian yang hamper serupa di kemukakan dalam dokumen kurikulum SLB bagian E tahun 1977, yang di sebut tunalaras adalah (1) anak yang mengalami ganguan /hambatan emosi dan tingkah laku sehingga tidak/ kurang menyesuaikan diri dengan baik, baik terhadap lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat; (2) anak yang mempunyai kebiasan melnggar norma umum yang berlaku di masyarakat; (3) anak yang melakukan kejahatan.

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa:

a) Anak tunalaras, yang dimaksud disini adalah anak yang mengalami hambatan/kesulitan untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan sosial, bertingkah laku menyimpang dari norma-norma yang berlaku dan dalam kehidupan sehari-hari sering disebut anak nakal sehingga dapat meresahkan/ mengganggu lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat.

2.2 Ciri-ciri Anak Tuna Laras

Penggolongan anak tunalaras secara umum dapat ditinjau dari segi gangguan atau hambatan dan kualifikasi berat ringannya kenakalan, dengan penjelasan sbb :

1) Menurut jenis gangguan atau hambatan

a. Gangguan Emosi

Anak tunalaras yang mengalami hambatan atau gangguan emosi terwujud dalam tiga jenis perbuatan, yaitu: senang-sedih, lambat cepat marah, dan releks-tertekan.

Secara umum emosinya menunjukkan sedih, cepat tersinggung atau marah, rasa tertekandan merasa cemas

Gangguan atau hambatan terutama tertuju pada keadaan dalam dirinya. Macam-macam gejala hambatan emosi, yaitu:

• Gentar, yaitu suatu reaksi terhadap suatu ancaman yang tidak disadari, misalnya ketakutan yang kurang jelas obyeknya.

• Takut, yaitu rekasi kurang senang terhadap macam benda, mahluk, keadaan atau waktu tertentu. Pada umumnya anak merasa takut terhadap hantu, monyet, tengkorak, dan sebagainya.

• Gugup nervous, yaitu rasa cemas yang tampak dalam perbuatan-perbuatan aneh. Gerakan pada mulut seperti meyedot jari, gigit jari dan menjulurkan lidah. Gerakan aneh sekitar hidung, seperti mencukil hidung, mengusap-usap atau menghisutkan hidung. Gerakan sekitar jari seperti mencukil kuku, melilit-lilit tangan atau mengepalkan jari. Gerakan sekitar rambut seperti, mengusap-usap rambut, mencabuti atau mencakar rambut.

Demikian pula gerakan-gerakan seperti menggosok-menggosok, mengedip-ngedip mata dan mengrinyitkan muka, dan sebagainya.

• Sikap iri hati yang selalu merasa kurang senang apabila orang lain memperoleh keuntungan dan kebahagiaan.

• Perusak, yaitu memperlakukan bedan-benda di sekitarnya menjadi hancur dan tidak berfungsi.

• Malu, yaitu sikap yang kurang matang dalam menghadapi tuntunan kehidupan. Mereka kurang berang menghadapi kenyataan pergaulan.

7) Rendah diri, yaitu sering minder yang mengakibatkan tindakannya melanggar hukum karena perasaan tertekan.

b. Gangguan Sosial

Anak ini mengalami gangguan atau merasa kurang senang menghadapi pergaulan. Mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan hidup bergaul. Gejala-gejala perbuatan itu adalah seperti sikap bermusuhan, agresip, bercakap kasar, menyakiti hati orang lain, keras kepala, menentang menghina orang lain, berkelahi, merusak milik orang lain dan sebagainya. Perbuatan mereka terutama sangat mengganggu ketenteraman dan kebahagiaan orang lain.

Beberapa data tentang anak tunalaras dengan gangguan sosial antara lain adalah:

• Mereka datang dari keluarga pecah (broken home) atau yang sering kena marah karena kurang diterima oleh keluarganya.

• Biasa dari kelas sosial rendah berdasarkan kelas-kelas sosial.

• Anak yang mengalami konflik kebudayaan yaitu, perbedaan pandangan hidup antara kehidupan sekolah dan kebiasaan pada keluarga.

• Anak berkecerdasan rendah atau yang kurang dapat mengikuti kemajuan pelajaran sekolah.

• Pengaruh dari kawan sekelompok yang tingkah lakunya tercela dalam masyarakat.

• Dari keluarga miskin.

• Dari keluarga yang kurang harmonis sehingga hubungan kasih sayang dan batin umumnya bersifat perkara.

Salah satu contoh, kita sering mendengar anak delinkwensi. Sebenarnya anak delinkwensi merupakan salah satu bagian anak tunalaras dengan gangguan karena social perbuatannya menimbulkan kegocangan ketidak bahagiaan/ketidak tentraman bagi masyarakat. Perbuatannya termasuk pelanggaran hukum seperti perbuatan mencuri, menipu, menganiaya, membunuh, mengeroyok, menodong, mengisap ganja, anak kecanduan narkotika, dan sebagainya.

2) Klasifikasi berat-ringannya kenakalan

Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan pedoman untuk menetapkan berat ringan kriteria itu adalah:

a. Besar kecilnya gangguan emosi, artinya semikin tinggi memiliki perasaan negative terhadap orang lain. Makin dalam rasa negative semakin berat tingkat kenakalan anak tersebut.

b. Frekwensi tindakan, artinya frekwensi tindakan semakin sering dan tidak menunjukkan penyesalan terhadap perbuatan yang kurang baik semakin berat kenakalannya.

c. Berat ringannya pelanggaran/kejahatan yang dilakukan dapat diketahui dari sanksi hukum.

d. Tempat/situasi kenalakan yang dilakukan artinya Anak berani berbuat kenakalan di masyarakat sudah menunjukkan berat, dibandingkan dengan apabila di rumah.

e. Mudah sukarnya dipengaruhi untk bertingkah laku baik. Para pendidikan atau orang tua dapat mengetahui sejauh mana dengan segala cara memperbaiki anak. Anak “bandel” dan “keras kepala” sukar mengikuti petunjuk termasuk kelompok berat.

f. Tunggal atau ganda ketunaan yang dialami. Apabila seorang anak tunalaras juga mempunyai ketunaan lain maka dia termasuk golongan berat dalam pembinaannya.

Maka kriteria ini dapat menjadi pedoman pelaksanaan penetapan berat-ringan kenakalan untuk dipisah dalam pendidikannya.

2.3 Etiologi dan Kecerdasan Anak Tunalaras

Faktor-faktor yang berpeluang memberikan kontribusi terhadap insiden ketunalarasan, di antaranya ialah (a) factor penyebab internal yang berkaitan dengan kondisi individu itu sendiri, misalnya kondisi pisikofik, keturunan, (b) faktor eksternal, yakni faktor yang secara langsung atau tidak turut memberikan sumbanga terhadap terjadinya ketunalarasan yang datangnya dari luar individu,misalnya lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dLL.

Kondisi kecerdasan anak tunalaras mengikuti distri busi norma sehinga memungkinkan tingkat kecerdasan anak tunalaras berbeda pada rentangan di bawah normal, rata-rata normal, atau di atas normal. Apabila kondisi ketunalarasan di jumpai pada anak dengan tarapkecerdasan rendah, hal ini anak mengalami kesulitan dalam memahami dan mencerna norma atau aturan yang berlaku. Akan tetapi, jika ketunalarasan yang dilakukan oleh anak dengan tarap kecerdasan tinggi, halini karna anak terlalu keritis menilai keadan sehinga menimbulkan konflik.

Bab IV

Penutup

3.1 Kesimpulan

Tujuan diselenggarakannya layanan pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu anak didik penyandang perilaku sosial dan emosi, agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan dan keterampilan sebagai pribadi maupun anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbal balik dengan lingkungan sosial budaya dan alam sekitar serta dapat mengembangkan kemampuan dalam dunia kerja atau mengikuti pendidikan selanjutnya.

Pendidikan jasmani adaptif merupakan suatu sistem penyampaian layanan yang bersifat menyeluruh (comprehensif) dan dirancang untuk mengetahui, menemukan dan memecahkan masalah dalam ranah psikomotor. Hampir semua jenis ketunaan ABK memiliki problim dalam ranah psikomotor.

Dengan demikian dapat dipastikan bahwa peranan pendidikan jasmani bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) sangat besar dan akan mampu mengembangkan dan mengkoreksi kelainan dan keterbatasan tersebut, dalam hal ini adalah bagi mereka para penyandang tuna laras.

Anak tuna laras sering disebut juga dengan anak tuna sosial karena tingkah laku anak

tuna laras menunjukkan penentangan yang terus-menerus terhadap norma-norma masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu dan menyakiti orang lain. Sehingga dibutuhkan pembelajaran pendidikan jasmani khusus yang harus diterapkan pada mereka para tuna laras.

3.2 Saran

Anak tuna laras bukan momok yang harus dikucilkan dalam masyarakat bahkan mereka harus mendapatkan perhatian yang lebih terkhusus untuk mendapatkan pendidikan yang layak seperti halnya anak yang normal lainnya. Sehingga diperlukan lembaga khusus yang menangani anak tuna laras. Peserta didik yang menyandang kelainan demikian juga memperoleh pendidikan yang layak, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang dalam hal ini menyatakan dengan singkat dan jelas bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran” yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan bahwa “Warga Negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus”.

Daftar Pustaka

Arma Abdoellah, Prof.,M.sc., (1996): Pendidikan Jasmani Adaptif, Ditjen Dikti, Depdikbud, Jakarta.

Dr.Efendi Mohammad,M.Pd.,M.Kes.2006.pengantar pisikopedagogik anak berkelainan.jakarta: Bina aksara.